• .
  • .
  • .
  • .
  • .
  • .

Teduhnya hatimu.. ..

Tidak lama lagi genap 1 tahun ibuku pergi untuk selamanya, dipanggil Allah swt. Inna lillahi wa inna Ilaihi roji'uun. Kami yang ditinggal kini hanya bisa mengenang ibu yang sabar, nerimo, tidak pernah marah, tidak mengatur secara keras putra-putrinya. Ya, ibu telah membesarkan kami semua ber-tujuh dengan sangat sabar dan dengan keteduhan hati seorang ibu, yang kini aku hanya bisa mengenangnya dan seolah masih merasakan keberadaanya seperti ketika itu.
Sejak ditinggal bapak, sangat terlihat ibu semakin hari semakin lemah, lemah kondisi phisiknya dan mungkin juga hatinya. Ini terlihat dari semakin diamnya ibu, tidak banyak bicara. Sepantasnya-lah ibu dengan kondisi seperti itu. Hari-hari sebelumnya sewaktu masih ada bapak yang selalu bersama sejak tahun 1943, tentu bukan waktu yang pendek yang dengan mudah terhapus dari ingatan. Perjalanan hidup yang teramat panjang dilalui bersama, bapak dan ibu, menjadi kenangan pahit dan manis, sebagai bumbu kehidupan, yang dilewati bersama putra-putrinya dari semenjak kecil hingga dewasa, bahkan hingga satu per-satu harus pergi memisahkan diri, menjalani kehidupan masing-masing setelah berumah-tangga. Semua menjadi untaian ceritera yang sangat sangat panjang.
Ceritera panjang yang sangat manis untuk dikenang, tetapi terkadang membuatku menangis.. .. ya kadang aku menangis dalam kesendirianku di malam-malam larut, yang sepi dan dingin. Dan lebih terasa lagi setelah ibu juga menyusul bapak yang terlebih dahulu dipanggil menghadap Allah swt. 
Seringkali aku lama memandang gambar bapak-ibu, yang tenang berjajar didinding menemaniku setiap malam hingga larut. Aku tatap dalam-dalam, betapa sekarang aku merasa kehilangan dengan kepergiannya. Aku merasa begitu lemah, belum berbuat apa-apa yang berarti untuk bapak-ibuku, belum bisa berbuat banyak sebagai bakti semasa hidupnya. Bapak-ibuku memang pribadi yang jujur, polos, tidak pernah meminta yang aneh-aneh, yang memberatkan putra-putrinya, tidak mau merepotkan putra-putrinya. Hingga saat-saat terakhirnya sifat bapak dan ibu masih seperti itu. 
Semenjak kepergian bapak bulan Maret 2010, aku bersama istri menemani ibu, menjaga dan merawat ibu yang  kondisinya semakin lemah. Beberapa kali jatuh ketika hendak ke kamar mandi, yang membuat tangannya kesleo (terkilir) dan bengkak. Padahal sudah aku buatkan kursi khusus untuk tempat pub atau buang air kecil, agar tidak harus ke kamar mandi, tetapi ibu tidak mau menggunakan dan lebih memilih berjalan sendiri ke kamar mandi. Dengan dituntun (dipapah) dan dengan langkah yang berat, tetap dilakoninnya untuk urusan ke kamar mandi. 
Dalam kondisi yang demikian, istriku dengan telaten dan sabar memandikan ibu di kamar mandi setiap pagi dan sore hari, mengeramasi rambut yang memutih. Menyisir rambutnya, menyuapi ketika makan. Kadang sedih aku melihat kondisi ibu semakin hari semakin lemah. Apalagi ketika ibu sudah mulai tidak kuat berjalan dan harus mandi dengan diseka ditempat tidur, istriku dengan cekatan dan telaten mengerjakan semuanya. Satu kejadian yang aku tidak akan pernah bisa lupa apalagi melupakannya, ketika ibu terjatuh dari tempat tidur dengan pipi berdarah. Aku menangis sejadi-jadinya sampil mendekap ibu didadaku. Ini merupakan kejadian yang sangat sangat membuat aku merasa bersalah, merasa berdosa tidak bisa berbuat sebaik-baiknya untuk merawat ibu. Rasa bersalah yang selalu teringat kuat dalam pikiranku, ketika mengingat ibu dan memandangi gambarnya.
"Maafkan aku ibu, aku kurang bisa merawatmu dengan sebaik-baiknya.. .." aku tergugu dalam tangis. Ibu yang lemah masih harus mengalami kejadian seperti ini. Dengan gugup aku dan istri, segera mengangkat ke tempat tidur dan membersihkan lukanya. Beberapa hari sebelum Hari Raya Idul Fitri 2014, luka dan memar di pipi ibu sudah membaik dan pulih seperti sebelumnya.

Hari Raya Idul Fitri tahun 2014, ketika itu semua adik-adik, anak dan cucu, berkumpul di Kediri. Kami semuanya masih sempat sungkem kepada ibu yang kondisinya lemah, terduduk di kursi plastik. Ibu hanya bisa menatap kami semua satu-satu sambil sesekali senyum, yang terasa sudah hambar.
Gambar dibawah adalah gambar terakhir bapak-ibu yang menjadi kenangan kami semua.
Rahasia Allah swt, Sang Maha Pencipta, memang kita tidak akan  pernah dapat mengerti dan memahami. Terlebih lagi tentang umur, tentang kapan manusia akan meninggal. Semua tetap akan menjadi rahasia-NYA.

Begitu juga ketika itu, subuh tanggal 10 Agustus 2014 jam 5-an, 12 hari setelah hari Raya Idul Fitri .. .. ..
"Pak .. .. paak.. .." di pagi hari minggu itu, ketika itu aku sedang menyapu halaman depan, tiba-tiba dengan berlari istriku berteriak memanggil dengan gugup.
Belum sempat aku bertanya, "Ibu.. ibu.. " begitu serunya.
Aku langsung mengerti apa sebenarnya yang dimaksud. Aku lempar sapu lidi, dan langsung berlari ke kamar ibu. Yang kutemui ibu diam tertidur di tempat tidur, seperti tadi subuh ketika aku menengoknya. Tetapi yang terlihat saat itu, dada ibu sudah tidak bergerak, aku cari nafas di hidung dan mulut sudah tidak terasa hembusan nafas. Ya, ibuku sudah tiada. Allah swt telah memanggilnya untuk pulang. Dan aku jatuh memeluk tubuh ibuku yang terbujur diam. "Ibuu .. ibuu" hanya itu yang bisa kuucapkan dan "Inna lillahi wa inna ilaihi raji'uun".
"Yaa Allah, terimalah ibuku di-sisiMU dan ampunilah semua dosanya.. " tercekat rasa di ulu hati. Aku peluk ibuku yang terbujur diam, tak terbendung tangis yang menyesak dada, begitu juga istri yang mendampingiku.
"Sabar,pak.. sabar." katanya menenangkan aku. 
"Tadi waktu aku panggil ke depan, ibu masih bernafas, tapi nafasnya megap-megap begitu.." istriku menjelaskan.
"Iya.. " jawabku singkat. 
Rupanya Allah swt kasihan pada ibu, dengan kondisi yang semakin buruk, sehingga harus memanggilnya. Setelah dishalatkan ibu langsung dimakamkan, dengan iringan para tetangga yang sudah sangat mengenal keluarga bapak-ibu sebagai keluarga tertua dan terlama di lingkungan Semampir ini. Sempat hadir adikku, Yayuk dan suami, yang berangkat dari Surabaya setelah mendengar berita meninggalnya ibu. Sedangkan lainnya dari Balikpapan, dari Depok/Bogor, Bekasi,  Sunter Agung/Tanjung Priok dan Pasar Minggu Jakarta Selatan tiba pada esok harinya. 
Kini, rumah besar di Semampir Kediri hanya berpenghuni dua orang, aku dan istri, menghitung hari yang terasa sangat panjang, dan tentunya juga sepi. Rumah ini sudah sedemikian renta, dibangun sejak 52 tahun yang lalu, dan menyimpan berjuta kenangan yang tidak akan terlupakan. Entah bagaimana nanti jika aku sudah pergi meninggalkan rumah kenangan ini, rumah dengan mangga manalagi-nya, rumah yang menyimpan ceritera masa kecil yang manis.


Kehidupan akan terus berlanjut, dan ceritera masa lalu akan tetap menjadi ceritera masa lalu, yang hanya bisa dikenang. Ingin aku mempertahankan rumah kenangan ini, tetapi kenyataan dan kondisi tidak memungkinkan aku bisa melaksanakannya. Ada berbagai hal yang kupikirkan.. .. dan biarlah hanya aku yang tahu.
Ketika saat itu datang, dengan berat hati aku hanya bisa mengucapkan "maafkan aku bapak-ibu, aku tidak bisa mempertahankan rumah kenangan menjadi milik kita selamanya..  aku tahu, bagaimana bapak dulu berjuang mendapatkan rumah ini. aku tahu begitu ulet bapak berjuang sendiri, sehingga menjadi seperti sekarang. rumah kenangan yang membesarkan kami, anak-anakmu. segala yang ada di dunia memang tidak ada yang abadi, tidak ada yang bisa kita miliki selamanya. karena semua hanya pinjaman, dipinjamkan kepada kita. semua akan terhenti di titik akhir dimana semua telah ditentukan oleh-NYA. maafkan aku.. .. .."
Mudah-mudahan bapak-ibu, mengerti aku, betapa getir hati ini menerimanya.
"Bapak-ibu,  sepertinya aku ingin lagi kembali ke masa kecilku seperti dulu, bersama bapak-ibu .. main layangan di pinggir kali brantas diantara gunungan makam. .. ..."

Shar Darminto
semampir, april 2015 24.05